KAJIAN PERENCANAAN KOTA DAN DAERAH, KERJA SAMA MPKD UGM - KR (3-HABIS) ; Penataan Ruang Pasca Otonomi Daerah
Warta  UFOnet : Berita terbaik disajikan oleh Ufonet 2004
 

Home

         
 

 

 
 
Saturday, 11 September 2004, Opini Publik
KAJIAN PERENCANAAN KOTA DAN DAERAH, KERJA SAMA MPKD UGM - KR (3-HABIS) ; Penataan Ruang Pasca Otonomi Daerah   

 PEMBERLAKUAN UU 22/99 tentang Otonomi Daerah sebagai pengganti UU No 5/74 secara langsung berakibat terhadap pelaksanaan UU No 24/92 tentang Penataan Ruang. Fenomena mengenai tidak diakuinya kebijaksanaan pembangunan dan penataan ruang tingkat propinsi yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi oleh kabupaten dan kota merupakan bukti pengaruh dari UU 22/99 terhadap UU No 24/92. Hal ini merupakan gejala umum dari eforia otonomi. Semua kebijakan sebelum otonomi yang berbau top down kalau mungkin dihapus, diganti dengan kebijakan baru yang penuh dengan muatan lokal. Kebijakan dari atas harus mengakomodasi kepentingan daerah, tetapi daerah boleh tidak mengikuti kebijakan dari atas merupakan pemahaman umum otonomi saat ini. 

Di sisi lain, daerah kabupaten kota yang merasa sumber dayanya terbatas, Undang-undang otonomi digunakan untuk meminta dana perimbangan yang lebih besar, sebagai konsekuensi dari limpahan wewenang yang diberikan (sampai saat ini belum terdengar daerah kabupaten kota yang mengembalikan sebagian kewenangan yang diberikan ke propinsi atau pusat). Daerah-daerah ini merasa tak di bawah propinsi tetapi meminta pusat dan propinsi menanggung sebagian tanggung jawab daerah kabupaten kota. 

Jika kebijakan propinsi saja belum tentu diikuti, apalagi hubungan dengan kabupaten kota tetangga. Yang terjadi adalah saling ancam dan saling tidak peduli. Pandangan stakeholder daerah (baca ligislatif dan eksekutif) yang myopic (sempit) menjadikan daerah kabupaten atau kota sebagai pulau yang lepas dari wilayah sekitarnya. Apa yang dikerjakan di daerahnya kadang-kadang hanya dilihat dari kacamata atau sudut pandang kepentingan sempit daerah atau bahkan kelompok yang berkuasa di daerah tersebut, tanpa mempertimbangkan kaitannya dengan wilayah dan masyarakat sekitarnya (ingat kasus ancaman pengeringan waduk Kedungombo, penutupan TPA, penetapan tarif sepihak terhadap air baku PDAM, penutupan bandara, pegawai daerah tidak boleh nglaju dan masih banyak kasus-kasus lain yang jika dicermati merupakan kebijakan yang kontra produktif). Konflik kepentingan antardaerah tidak diselesaikan dengan musyawarah, tetapi dengan saling mengancam. Pemerintah daerah yang seharusnya berkewajiban menjelaskan dan menenangkan masyarakat antarwilayah yang sedang konflik, kadang kala justru mengipasi, karena tekanan politik dari DPRD, yang sangat membutuhkan dukungan masyarakat di wilayahnya. 

Oleh karena itu, adalah sangat penting bagi setiap daerah dengan stakeholdernya (yang masih mencintai republik ini) untuk memahami dan menjabarkan undang-undang tersebut dalam kebijaksanaan operasional ditingkat daerah kabupaten kota dengan benar, sesuai dengan jiwa atau semangat dari Undang-undang tersebut. Bukan hanya memahami apa yang tersurat dan sepotong-sepotong, tetapi juga yang tersirat dan utuh sebagai kesatuan kebijakan nasional. Pandangan tersebut merupakan koridor dalam merumuskan kebijakan daerah yang benar, lepas dari sudah ada atau belum adanya PP sebagai pedoman pelaksanaan UU tersebut. Belum adanya PP sebaiknya jangan dijadikan perisai untuk bertindak sepihak, tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih luas. Dalam pandangan positif, hal tersebut merupakan cerminan dari otonomi yang bertanggung jawab. Hal tersebut bukan merupakan hal mudah, karena membutuhkan sumber daya manusia yang memadai kapasitasnya serta waktu yang cukup panjang untuk membangun pemahaman dan kesediaan seperti itu. Tetapi tindakan itu diperlukan, untuk mencapai otonomi yang lebih bertanggung jawab bagi setiap daerah. 

UU 24/92, proses perumusannya cukup panjang. Draft Undang-undang tersebut disusun sejak tahun 70-an, dengan jumlah perubahan lebih dari 20 draff, sebelum diajukan ke DPR. Setelah melalui pembahasan yang cukup panjang (lebih dari 20 tahun) baru disetujui DPR. Bisa dibayangkan, UU itu mestinya cukup matang, walaupun belum sempurna. 

Jika dilihat isinya, UU 24/92 bukan hanya mengakomodasi permasalahan nasional, tetapi juga berbagai perkembangan permasalahan lingkungan yang merupakan kesepakatan global, dimana ruang sebagai sumberdaya perlu dilestarikan pemanfaatannya. Pada awalnya, tujuan penataan ruang adalah untuk mengeksploitasi sumber daya yang tersedia dalam ruang untuk mendukung optimalisasi pertumbuhan ekonomi wilayah dalam rangka tinggal landas. Pandangan tersebut sejalan dengan konsep pembangunan pada era 70-an, dimana pertumbuhan ekonomi merupakan panglima pembangunan, (sebagai jabaran dari konsep Rostow). Masuk pada era 80-an, konsep sustainable development menjadi primadona pembangunan, setelah melihat kerusakan lingkungan sebagai akibat dari pembangunan ekonomi dalam skala besar-besaran (Friedman, 1997). Ruang sebagai resources mempunyai keterbatasan, sehingga perlu dikelola secara bijaksana, untuk menjamin kesinambungan pembangunan itu sendiri. Pesan ini secara jelas tersurat dan tersirat dalam diktum UU 24/92.

Operasionalisasi dari konsep tersebut adalah ditetapkannya ruang wilayah dalam dua fungsi utama, yaitu kawasan lindung dan budidaya (pasal 7). Dalam konsep ini, kegiatan manusia di dalam melaksanakan hajat hidupnya dibatasi dalam kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan budidaya, karena kawasan tersebut menurut kriteria teknis layak untuk diusahakan, terutama untuk kegiatan ekonomi produktif (pertanian, pertambangan, industri, jasa dsb). Sedang kawasan lindung merupakan kawasan yang menjaga dan mendukung berfungsinya kawasan budidaya secara optimal. Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung karena dinilai dari kriteria teknis tidak layak untuk diusahakan. Ketidaklayakan tersebut karena faktor daya dukung, kelangkaan sumber daya hayati, sejarah (heritage), bencana alam dan kriteria teknis lain yang ditetapkan berdasar nilai-nilai universal maupun lokal. Prinsip pelestarian (presevasi dan konservasi) mutlak diterapkan untuk kawasan ini. Pemanfaatan kawasan lindung untuk budidaya akan mengurangi atau bahkan menegasikan fungsi lindungnya. Akibatnya, bencana alam (longsor, banjir, kekeringan, penipisan lapisan ozon), pencemaran (polusi dan kontaminasi) yang kesemuanya merujuk ke degradasi lingkungan kehidupan. Jika dihitung, nilai ekonomi yang dihasilkan oleh budidaya kawasan lindung jauh di bawah nilai kerusakan yang diakibatkan oleh budidaya kawasan itu. 

Pesan kedua setelah penetapan fungsi kawasan adalah pengelolaan kawasan, seperti tertuang dalam considerans b dan diktum dalam bab IV pasal 7 sampai 12. Pengelolaan diartikan sebagai usaha untuk mendayagunakan sumber daya secara rasional, optimal, adil dan lestari. Sedang kegiatannya sendiri mencakup perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian di dalam berbagai tingkat atau cakupan. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah adanya perbedaan pembatasan dari suatu ruang wilayah atas dasar fungsi atau kepentingan tertentu. Ada beberapa satuan wilayah (region) yang berbeda-beda pembatasannya dilihat dari karakteristik fisik, fungsi dan kegiatan yang berkembang di dalam satuan ruang wilayah itu. Satuan-satuan wilayah tersebut membentuk layer (lapisan) yang bertumpuk satu dengan yang lain. Adalah hal yang wajar, jika pembatasan satuan wilayah yang dirumuskan tidak sama dengan pembatasan ruang wilayah berdasar administrasi pemerintahan. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran pengembangan wilayah Purnomo Sidi, yang melihat bahwa tidak semua wilayah mempunyai potensi untuk dikembangkan (dibudidayakan), ada bagian-bagian dari suatu wilayah (region) yang sebaiknya dibiarkan sebagaimana asalnya, karena kurang menguntungkan dilihat dari aspek ekonomi maupun lingkungan. (Purnomo Sidi, 1981). 

Penataan ruang kawasan juga didistribusikan dan didesentralisasikan dalam berbagai level pemerintah. Masing-masing level merupakan sub sistem yang berada dalam satu sistem pengelolaan ruang nasional yang utuh. Sistem tersebut mempunyai struktur yang mengikat masing-masing sub sistem dalam hubungan yang saling mengisi, melengkapi dan menyempurnakan, sehingga dicapai sinergi optimal dari sistim tata ruang yang utuh.

Dalam kerangka berpikir tersebut, urusan yang dikelola oleh masing-masing tingkat pemerintahan menjadi jelas, seperti tertuang dalam pasal 8, 9, 10. Pada level nasional, RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) menangani masalah tata ruang nasional, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarnegara, seperti pemanfaatan kawasan perbatasan darat dan laut, perhubungan antarnegara, pengembangan bersama antarnegara, seperti Sijori (Singapura, Johor, Riau), IMSGT (Indonesia - Singapore - Malaysia Growth Triangle). Sedang masalah domestik yang ditangani adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan koordinasi antarpropinsi dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan atau kawasan tertentu, standar nasional atau acuan baku untuk perencanaan tata ruang wilayah, pendidikan dan pengembangan bidang ilmu perencanaan, capacity building dan pembinaan wilayah bawahan serta tugas-tugas yang dibebankan oleh GBHN maupun Propenas. Oleh karena ruang lingkupnya sangat luas, setara dengan ketersediaan informasi pada skala peta 1 banding 1.000.000 ke atas, maka sifatnya makro, strategis dan merupakan pedoman bagi rencana dan pelaksanaan tingkat di bawahnya.

Berbeda dengan UU 24/92, UU 22/90 waktu pembahasannya relatif lebih pendek, walaupun gagasannya sudah cukup lama. Oleh karena itu, wajar kalau interpretasi atas Undang Undang tersebut bisa berbeda, sesuai dengan interest dari yang menginterpretasikan. Oleh karena itu adalah sangat penting untuk memahami secara utuh, baik yang tersurat maupun yang tersirat, dalam rangka menangkap jiwa dari undang undang tersebut.

Dalam konteks pengelolaan sumber daya ruang, dari consideransnya kelihatan sekali hubungan antara prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi dengan upaya untuk melaksanakan pembangunan daerah secara efisien, dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. Di dalam ruang wilayah nasional yang sedemikian besarnya, pemerintahan (termasuk di dalamnya pengelolaan pembangunan) yang efisien hanya bisa dijalankan melalui mekanisme desentralisasi kewenangan, dalam bentuk pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung secara proporsional. (considerans butir b, c). Jika considerans merupakan payung dari dictum, maka bisa disimpulkan bahwa UU 22/90 merupakan instrumen atau wahana untuk mencapai tujuan pembangunan, yaitu masyarakat adil makmur dalam kerangka negara kesatuan RI, seperti diamanatkan UUD 45 (considerans a).

Konsideran tersebut diturunkan dalam pasal-pasal yang menyangkut penetapan kewenangan di dalam pemerintahan untuk setiap jenjang pemerintahan (Bab IV, pasal 7-11). Jadi, walaupun terdapat pasal-pasal yang menjelaskan mengenai hubungan yang tidak hirarkis antara Kabupaten kota dengan propinsi, bukan berarti kabupaten kota tidak terikat sama sekali dengan propinsi. Pasal tersebut harus dipahami sebagai mekanisme untuk mengefisienkan fungsi pelayanan pada masyarakat dan pengelolaan pembangunan di dalam daerah yang bersangkutan, dengan penegasan atas kewenangan dan tanggung jawab urusan yang jelas di setiap jenjang pemerintahan.

Jika dilaksanakan dengan benar serta berlandaskan pemahaman yang benar pula, mekanisme tersebut memungkinkan bertemunya pendekatan bottom up dan top down di dalam setiap rumusan kebijakan pemerintahan di daerah, baik dalam hal penyediaan layanan umum maupun pengelolaan pembangunan. Ada batas, rumusan dan mekanisme yang jelas mengenai apa yang harus menjadi hak dan tanggung jawab daerah, propinsi maupun pusat, sebagaimana prinsip-prinsip desentralisasi, medebewind dan dekonsentrasi.

Urusan yang murni rumah tangga daerah menjadi tanggug jawab daerah, sedang urusan yang menyangkut hubungan/kepentingan antardaerah atau antarjenjang pemerintahan dikoordinasikan dan ditangani oleh jenjang pemerintahan di atasnya. Bahkan dalam hal daerah belum mampu, maka urusan tersebut dapat dititipkan dulu ke propinsi. Hal itu sejalan dengan salah satu tugas propinsi, yaitu kewajiban untuk melakukan pembinaan, baik dalam aspek pemberdayaan maupun pengawasan pemerintahan daerah (penjelasan pasal 4 ayat 2).

Di sisi lain, daerah harus mendukung pelaksanaan kebijakan atau program dari atas, sebatas kewenangan yang dipunyai. Dengan demikian, aliran aspirasi dari bawah akan sampai ke atas tanpa mengalami distorsi, karena sudah terpilih atau tersaing sebagai permasalahan yang perlu dibawa ke atas. Di sisi lain, kebijakan dari atas akan lebih bisa diterima di daerah, karena menjawab berbagai permasalahan daerah. Kemudian kebijakan dari atas yang sifatnya umum dan lingkupnya luas akan dengan mudah dilaksanakan daerah, karena memberikan peluang bagi daerah untuk melaksanakan sesuai dengan kondisi, potensi dan permasalahan daerah.

Berpijak pada pemahaman tersebut, apa yang terjadi saat ini, belum tentu mengindikasikan kelemahan UU 22/90. Tetapi yang nampak jelas adalah indikasi mengenai arogansi daerah yang mengarah pada arogansi kelompok masyarakat. Tanda-tandanya cukup jelas, yaitu semua ingin dinomor satukan kepentingannya, tidak peduli urusan orang lain tetapi orang lain harus peduli dengan urusannya, tidak peduli peraturan dan kesepakatan social dan hanya berpikir untuk kepentingan jangka pendek bagi individu atau kelompoknya. Sehingga muncul kekhawatiran terjadinya disintegrasi republik yang kita cintai ini.

Dalam kondisi kehidupan pemerintahan dan kemasyarakatan seperti ini, yang sudah menjurus situasi chaos, jangan harap ganti peraturan atau ganti sistem akan memperbaiki keadaan. Penggantian bahkan akan menambah kerumitan, kebingungan, keresahan dan kekacauan, yang justru akan semakin membuka peluang bagi oknum-oknum opportunist yang hanya melihat kepentingan jangka pendek untuk kelompok atau dirinya sendiri. Oleh karena itu, untuk menjamin UU Otonomi ini bisa berjalan dengan baik, UU ini dilengkapi dengan UU No 28/99 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.

Dapat disimpulkan, kedudukan RTRWP sebagai acuan atau pengikat bagi RTRW kabupaten atau kota menjadi lebih operasional atau fungsional. UU 24/92 mengatur penetapan suatu wilayah atas dasar fungsinya, baik dari kriteria fisik, ekonomi maupun sosial, sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Karena karakternya, deliniasi kawasan tersebut sangat mungkin akan berbeda dengan deliniasi wilayah sebagai daerah administratif. Di sisi lain, pelaksanaan suatu kebijakan dibatasi oleh daerah administratif. Yang terjadi sebelum berlakunya UU 22/99, ketentuan ketentuan di dalam RTRWP yang sifatnya konseptual, di RTRW kabupaten kota dijabarkan menjadi pedoman operasional. Tetapi karena keterbatasan kewenangan di daerah, RTRW tidak bisa digunakan sebagai instrument pengarah dan pengendali kegiatan pemanfaatan ruang, baik karena tidak jelasnya institusi pelaksana maupun adanya permasalahan di kabupaten kota yang tidak terakomodasi dalam RTRW Propinsi (RTRW Propinsi dinilai menghambat perkembangan kabupaten kota), Akibatnya, banyak terjadi penyimpangan antara realita dengan rencana. q-k

*) Suryanto, Staf Peneliti Pusat Studi Perencanaan dan Pembangunan Regional UGM.